Tertundanya Kematian


Suatu ketika, Nabi Daud a.s. duduk di suatu tempat. Di sampingnya, ada seorang pemuda saleh yang duduk dengan tenang tanpa banyak bicara. Tiba-tiba, datang Malaikat Maut yang mengucapkan salam kepada Nabi Daud. Anehnya, Malaikat Maut terus memandang pemuda itu dengan serius.

Nabi Daud berkata kepadanya, "Mengapa engkau memandangi dia?"

Malaikat Maut menjawab, "Aku diperintahkan untuk mencabut nyawanya tujuh hari lagi di tempat ini!"

Nabi Daud pun merasa iba dan kasihan kepada pemuda itu. Beliau pun berkata kepadanya, "Wahai Anak Muda, apakah engkau mempunyai istri?"

"Tidak, saya belum pernah menikah," jawabnya.

"Datanglah engkau kepada Fulan - seseorang yang sangat dihormati di kalangan Bani Israil - dan katakan kepadanya, 'Daud menyuruhmu untuk mengawinkan anakmu denganku.' Lalu, kau bawa perempuan itu malam ini juga. Bawalah bekal yang engkau perlukan dan tinggallah bersamanya. Setelah tujuh hari, temuilah aku di tempat ini."

Pemuda itu pergi dan melakukan apa yang dinasihatkan Nabi Daud kepadanya. Dia pun dinikahkan oleh orang tua si Gadis. Dia tinggal bersama istrinya selama tujuh hari. Pada hari kedelapan pernikahannya, dia menepati janjinya untukbertemu dengan Daud.

"Wahai Pemuda, bagaimana engkau melihat peristiwa itu?"

"Seumur hidupku, aku belum pernah merasakan kenikmatan dan kebahagiaan seperti yang kualami beberapa hari ini," jawabnya.

Kemudian, Nabi Daud memerintahkan pemuda itu untuk duduk di sampingnya guna menunggu kedatangan malaikat yang hendak menjemput kematiannya. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Nabi Daud berkata, "Pulanglah kepada keluargamu dan kembalilah ke sini untuk menemuiku di tempat ini delapan hari setelah ini."

Pemuda itu pun pergi meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Pada hari kedelapan, dia menemui Nabi Daud di tempat tersebut dan duduk di sampingnya. Kemudian, kembali lagi pada minggu berikutnya, dan begitu seterusnya. Setelah sekian lama, datanglah Malaikat Maut kepada Nabi Daud.

"Bukankah engkau pernah mengatakan kepadaku bahwa engkau akan mencabut nyawa anak pemuda ini dalam waktu tujuh hari ke depan?"

Malaikat itu menjawab, "Ya."

Nabi Daud berkata lagi, "Telah berlalu delapan hari, delapan hari lagi, delapan hari lagi, dan engkau belum juga mencabut nyawanya."

"Wahai Daud, sesungguhnya Allah swt merasa iba kepadanya lalu dia menunda ajalnya sampai tiga puluh tahun yang akan datang."

Pemuda dalam kisah ini adalah seseorang yang taat beribadah, ahli munajat, gemar berbuat kebaikan, dan sangat penyayang kepada keluarganya. Boleh jadi, karena amal saleh dan doa-doanyalah, Allah Swt. berkenan menunda kematian sang Pemuda hingga tiga puluh tahun lamanya.

Sungguh, suatu kaum akan ditimpa azab oleh Allah sebagai suatu ketetapan yang pasti. Namun, kemudian seorang anak di antara mereka membaca, "Alhamdulillahi Rabbil Alamin." Ucapan itu didengar Allah dan Dia mengangkat azab-Nya dari mereka karena bacaan itu selama 40 tahun. (Fakhruddin Ar Razi)

Mendoakan Orang Lain

 

 

Seperti biasa, pada sepertiga malam terakhir, Sayyidah Fathimah — putri kesayangan Rasulullah saw senantiasa melaksanakan shalat tahajud di rumahnya. Terkadang, ia menghabiskan malam-malamnya dengan qiamu lail dan doa. Hasan bin Ali, putranya, sering mendengar munajat sang bunda.

Suatu pagi, ketika Sayyidah Fathimah selesai berdoa, Hasan kecil bertanya, "Ya Ummi, dari tadi, aku mendengarkan doamu, tetapi tak satu pun doa yang kau panjatkan untuk dirimu sendiri?"

Fathimah menjawab dengan lembut, "Nak, doakan dulu tetanggamu karena ketika para malaikat mendengarkanmu mendoakan tetanggamu, niscaya mereka akan mendoakanmu. Adakah yang lebih baik daripada doa para malaikat yang dekat dengan Allah, Tuhan kita?"

Apabila salah seorang mendoakan saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui oleh yang didoakan, para malaikat berkata, "Amin, semoga engkau memperoleh pula sebagaimana yang engkau doakan itu." (HR Muslim dan Abu Dawud)

Cinta Anak Gembala

Cinta Seorang Anak Gembala

Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. la tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.

Sepanjang hari, ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu."

Suatu hari, Nabi Musa melewati padang gembalaan tersebut. la memperhatikan sang Gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, "Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?"

Musa mendekati gembala itu dan bertanya, "Dengan siapa kamu berbicara?"

Gembala menjawab, "Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, Bumi dan langit."

Nabi Musa murka mendengar jawaban gembala itu, "Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!"

Sang Gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan.

Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Nabi Musa yang terus berkata, "Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!"

Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga takmengerti mengapa nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh, tetapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengetahui daripada siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya.

Ia berkata kepada Musa, "Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya." Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.

Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba, Allah Yang Mahakuasa menegurnya, "Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintai-nya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya."

Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut.

Tuhan berfirman, "Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah, bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna."

Suara dari langit selanjutnya berkata, "Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta dan umatyang beragama bukanlah umatyang mengikuti cinta karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri." Tuhan kemudian mengajarinya rahasia cinta.

Setelah memperoleh pelajaran itu, Nabi Musa mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui pengggembala yang dicarinya.

Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tetapi akhirnya Allah Swt. mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.

Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat Nabi Musa.

Musa berkata, "Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia."

Sang Gembala hanya menjawab sederhana, "Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku takdapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku." Kemudian, ia bangkit dan meninggalkan Nabi Musa.

Utusan Allah ini menatap sang Gembala sampai ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.

Doa sejati yang paling tinggi adalah perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat keduniawian, tidak terpaku pada sikap-sikap jasmaniah, tetapi dengan gerak-gerik jiwa. (Ibnu Sina)

Merindukan Mati syahid


Umar Merindukan Mati Syahid

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Sebenarnya berita tentang syahidnya Umar, telah disampaikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
Suatu ketika, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakr, Umar, dan Utsman Radhiyallahu ‘anhun. Merasa ada banyak manusia istimewa yang menaikinnya, Uhud langsung bergetar. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِىٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
Tenanglah wahai Uhud, karena di atasmu ada seorang nabi, seorang shiddiq dan dua orang syahid. (HR. Bukhari 3472, Ahmad 12435, dan yang lainnya).
Dalam catatan kaki shahih Bukhari dinyatakan,
( شهيدان ) هما عمر وعثمان رضي الله عنهما وقد ماتا شهيدين
“Dua orang syahid” maksudnya adalah Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhuma. Dan beliau berdua mati syahid. (Taqliq Shahih Bukhari Musthofa Bugha, catatan hadis no. 3472). Dan apa yang dinyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti terjadi.
Disamping itu, Umar selalu berharap agar beliau diwafatkan dalam kondisi syahid. Diantara doa yang beliau baca,
اللَّهُمَّ ارْزُقْنِى شَهَادَةً فِى سَبِيلِكَ ، وَاجْعَلْ مَوْتِى فِى بَلَدِ رَسُولِكَ – صلى الله عليه وسلم
Ya Allah berikanlah aku anugrah mati syahid di jalan-Mu, dan jadikanlah kematianku di negeri Rasul-Mu Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 1890)

Musuh Islam Dengki Umar

Di zaman Umar Radhiyallahu ‘anhu, kaum muslimin berhasil menaklukkan banyak wilayah kafir, termasuk negara majusi di Persia. Hingga Madinah menjadi kaya emas, karena saking banyaknya harta rampasan perang yang dimiliki kaum muslimin dari penaklukkan Persi (calon negara Iran). Sementara para tawanan, menjadi budak milik kaum muslimin. Keberhasilan kaum muslimin ternyata menjadi dendam para musuh islam.
Mereka bertekad, tidak akan membiarkan Abu Hafsh (Umar bin Khatab) meninggal dengan tenang di perbaringan.
Dulu ada seorang sahabat bernama Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu.  Beliau memiliki seorang budak pekerja bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz beragama Majusi. Sebelumnya, Umar pernah menetapkan peraturan yang melarang tawanan dewasa dibawa masuk ke kota Madinah. Hingga
Mughirah meminta izin kepada Umar untuk membawa Abu Lukluk masuk ke Madinah, karena dia memiliki keterampilan membuat senjata, sehingga bisa bermanfaat untuk umat islam. Abu Lukluk seorang pandai besi, ahli pertukangan, dan ukiran. Maka Umar pun mengizinkan.
Abu Lu’lu’ah memendam keinginan untuk membunuh Umar. Diapun menyiapkan sebilah pisau besar bermata dua, dengan pegangan di bagian tengah pisau. Pisau ini diasah tajam dan dilumuri racun.
Ketika waktu subuh tepatnya di hari Rabu. Orang majusi ini bersembunyi di salah satu sudut masjid di penghujung malam menunggu waktu subuh.

Kronologi Pembunuhan Umar

Amr bin Maimun merupakan saksi sejarah kejadian ini. Imam Bukhari dalam shahihnya menyebutkan pengakuan Amr bin Maimun ketika menceritakan peristiwa itu,
“Pada hari tertusuknya Umar, ketika jamaah shalat subuh itu, aku berada di shaf kedua, sementara di depanku ada Abdullah bin Abbas. Subuh itu, Umar memimpin shalat dengan melewati barisan shaf dan memerintahkan, “Luruskanlah shaf.”
Ketika dia sudah tidak melihat lagi celah-celah dalam barisan shaf tersebut, maka Umar maju lalu bertabir. Sepertinya beliau membaca surat Yusuf atau An-Nahl pada raka’at pertama, sehingga memungkinkan semua orang bergabung dalam shalat jamaah.
Sesaat ketika aku tidak mendengar bacaan takbir intiqal Umar, tiba-tiba terdengar dia berteriak, “Ada orang yang telah membunuhku, seekor anjing telah menerkamku.”
Abu Lukluk berusaha lari sambil menyabet-nyabetkan belatinya. Hingga ada sekitar 13 orang yang terkena tusukan belatinya, 7 diantaranya meninggal dunia.
Ada salah satu jamaah yang melihat ini, dia langsung melemparkan baju mantelnya dan tepat mengenai si majusi itu. Ketika dia menyadari bahwa dia tak lagi bisa menghindar, dia bunuh diri.
Umar memegang tangan Abdur Rahman bin ‘Auf lalu menariknya ke depan. Siapa saja orang yang berada dekat dengan Umar pasti dapat meilihat apa yang aku lihat. Adapun orang-orang yang berda di sudut-sudut masjid, mereka tidak mengetahui peristiwa yang terjadi, selain hanya kehilangan suara Umar. Mereka berseru, “Subhanallah, Subhanallah.” Mereka menyangka imam shalat lupa.
Kemudian Abdurrahman bin Auf melanjutkan shalat jamaah subuh dengan ringan (beliau membaca surat yang pendek). Setelah shalat selesai, Umar bertanya, “Wahai Ibnu Abbas, lihatlah siapa yang telah menikamku.”
Ibnu Abbas berkeliling sesaat lalu kembali, “Budaknya Mughirah.”
Umar bertanya, “Budak yang pandai membuat senjata itu?”
Ibnu Abbas menjawab, “Ya, benar.”
Mendengar jawaban ini, Umar bersyukur, beliau memuji Allah, doanya dikabulkan. Karena beliau dibunuh orang majusi, bukan orang islam.
Umar Radhiyallahu ‘anhu mengatakan dalam sebuah kalimat yang dicatat para ahli sejarah,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى لَمْ يَجْعَلْ مَنِيَّتِى بِيَدِ رَجُلٍ يَدَّعِى الإِسْلاَمَ
Segala puji bagi Allah, yang tidak meletakkan kematianku di tangan orang yang menyatakan muslim.
Selanjutnya, Umar dibawa pulang. Saat itu, masyarakat madinah seakan tidak pernah mengalami musibah seperti hari itu sebelumnya. Amirul Mukminin Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘anhu menderita luka menganga karena bekas tusukan itu. Ketika diberi minuman rendaman kurma, minuman itu keluar melalui  perutnya. Kemudian diberi susu namun susu itu keluar melalui lukanya.
Akhirnya orang-orang menyadari bahwa nyawa Umar tidak bisa lagi terselamatkan…
(Shahih Bukhari no. 3700)

Kuburan Abu Lukluk

Bagi orang Syiah Iran dan seantero dunia, Abu Lukluk dianggap pahlawan. Namanya harum di tengah mereka. Dia dianggap pahlawan karena secara pengecut ‘berani’ membunuh Umar. Karena itulah, dia digelari Abu Lukluah Baba Syuja ad-Din, artinya Abu Lukluk sang pemberani dalam agama. Sebagai lambang permusuhan dengan Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘anhu yang telah menaklukkan Persia.
Banyak orang syiah yang main ke kuburannya untuk berdoa di sana. Kuburannya di kota Kasyan di Iran. Sebenarnya sebagian orang syiah sendiri tidak yakin kuburan Abu Lukluk ada di Iran, sementara dia mati di madinah.

Kisah Tsabit bin Ibrahim

Kisah Tsabit bin Ibrahim

Tersebutlah seorang lelaki saleh bernama Tsabit bin Ibrahim. Ketika itu ia sedang melakukan perjalanan di pinggiran kota Kufah. Matahari bersinar sangat terik. Cuaca panas membuat kerongkongan kering sehingga haus pun menyerang.

Tanpa sengaja ia melihat sebuah apel ranum berwarna merah menyala tergeletak di hadapannya. Tanpa pikir panjang, ia segera mengambil dan menikmati buah merah tersebut untuk menghalau dahaganya.

Belum habis buah itu di tangannya, ia segera tersadar bahwa apel itu bukan miliknya, "Astasfirullah, aku memakan yang bukan hakku. Siapakah pemilik apel ini?" gumam Tsabit.

Perasaan gelisah menghantuinya. Dicarinya pohon apel yang tumbuh di sekitar. Ia sangat berharap agar si pemilik apel mau merelakan apel yang ada di tangannya itu untuk dimakan.

Setelah menelusuri jalanan itu, akhirnya tidak jauh dari tempatnya sederet pohon apel dengan buahnya yang merekah kukuh berdiri di sebuah kebun yang luas. Tsabit melihat seorang lelaki di dalam kebun tersebut, "Mungkin dia pemilik apel ini," pikir Tsabit.

Ia pun menghampirinya dan mengucapkan salam, lalu bertanya, "Apakah engkau pemilik kebun ini? Saya telah memakan apel Anda, untuk itu saya mohon maaf. Sudilah kiranya engkau merelakan apel ini agar halal untuk kumakan," pinta Tsabit.

Lelaki tersebut berkata, "Aku bukan pemilik apel itu. Saya hanyalah seorang penjaga kebun di sini."

"Baiklah, jika demikian di manakah rumah majikanmu?"

"Butuh waktu sehari semalam tiba di sana. Perjalanannya pun tidak mudah. Mengapa tidak kaumakan saja apel itu? Toh, ia tidak akan memedulikan sebuah apel itu karena hasil kebunnya begitu melimpah ruah!" usul si penjaga kebun.

"Sejauh apa pun rumahnya, aku harus tiba di sana meskipun harus melalui berbagai rintangan. Sebagian apel ini sudah aku telan, artinya di dalam tubuh ini terdapat makanan yang tidak halal bagiku karena belum meminta izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah saw. bersabda, 'Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram maka api nerakalah yang layak baginya' " tukas Tsabit tegas.

Melihat keteguhan hati Tsabit, si penjaga kebun akhirnya memberi tahu arah perjalanan menuju rumah majikannya. Tsabit berterima kasih atas kesediaan penjaga kebun memberi tahu alamat majikannya. Tanpa buang waktu, Tsabit segera beranjak menuju rumah pemilik apel.

Perjalanan mendaki dan berbatu ia lalui, sungai pun ia seberangi agar ia dapat bertemu dengan pemilik apel. Begitu risaunya ia akan peringatan dari Rasulullah saw.

Setelah menempuh perjalanan berliku, tibalah ia di depan rumah pemilik apel. Ia mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Seorang lelaki tua membukakan pintu untuknya.

"Wa'aiaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa anak muda?" tanyanya. Rupanya dialah pemilik kebun itu.

"Wahai Tuan, kedatangan saya ke sini untuk meminta keikhlasanmu atas buah apel yang terlanjur aku makan. Semoga engkau memaafkanku," Tsabit menjelaskan apa yang merisaukannya kepada si pemilik kebun.

Pemilik kebun menyimak dengan saksama. Lalu ia berkata, "Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat!"

"Apakah itu, Tuan?"

"Kamu harus menikahi putriku dan aku akan menghalalkan apel itu untukmu."

Tentu saja Tsabit terkejut dengan syarat itu. Haruskah ia menebus kesalahannya dengan pernikahan? Belum habis keterkejutan Tsabit, lelaki tua pemilik apel itu melanjutkan, "Putriku bisu, tuli, buta, dan lumpuh. Bagaimana? Apakah kamu menyanggupinya?"

Tsabit makin terkejut. Ia harus menikahi perempuan cacat yang akan mendampinginya seumur hidup. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. Jika jalan ini dapat membuka pintu ampunan Allah SWT, ia harus menjalaninya dengan ikhlas. Tsabit pun menyanggupinya.

Pernikahan pun diselenggarakan. Mempelai wanita menanti di dalam rumah saat akad nikah berlangsung. Selesai dilakukan akad nikah, Tsabit dipersilakan oleh sang mertua untuk menemui putrinya yang kini telah sah menjadi istri Tsabit.

Ia mengetuk kamar yang ditunjuk sambil mengucapkan salam. Ketika Tsabit hendak membuka pintu kamar, terdengar suara wanita menjawab salamnya. Ia urung masuk ke dalam kamar itu karena yang ia tahu istrinya bisu, tuli, dan buta, "Oh, maaf, aku salah kamar!" ujar Tsabit.

"Kau tidak salah. Aku istrimu yang sah!" kata wanita di dalam kamar itu, "silakan masuk, wahai suamiku!"

Tsabit benar-benar dibuat bingung dengan semua kejadian yang belakangan ini ia hadapi. Rasanya mustahil jika sang pemilik kebun berdusta tentang putrinya. Apa untungnya bagi dia?

Ketika Tsabit masih berdiri tertegun di depan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Yang membuka adalah seorang wanita cantik yang sehat wal afiat tanpa cacat seperti yang dikatakan mertuanya. Ia makin yakin bahwa ini bukanlah istrinya.

Tsabit bertanya kepada wanita yang berdiri di hadapannya itu, "Jika kau benar istriku, ayahmu berkata bahwa kau buta. Tetapi, mengapa kamu bisa melihat?"

"Ayahku benar, mataku buta karena tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah," jawab putri pemilik kebun buah itu.

"Lalu, mengapa ayahmu mengatakan kamu tuli? Padahal, kau dapat mendengar salamku!" tanya Tsabit kembali.

"Itu juga benar, beliau tahu bahwa aku tidak pernah mau mendengar berita atau cerita yang tidak diridai Allah SWT," jelas sang istri.

"Kau pun tidak bisu seperti yang dikatakan ayahmu? Apa artinya?"

"Aku bisu karena tidak pernah mengatakan dusta dan segala sesuatu yang tercela. Aku banyak menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah."

"Terakhir, apa maksud ayahmu mengatakan kau lumpuh?" tanya Tsabit lagi.

"Itu karena aku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dibenci Allah."

Betapa bahagianya Tsabit bahwa yang ia nikahi adalah sosok wanita salehah yang sempurna fisiknya dan cantik bak purnama di kegelapan malam. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah ulama yang menjadi imam terbesar bagi umat Islam, yaitu Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit.

Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah berpesan dalam sabdanya, "Berjanjilah kepadaku enam hal dan aku akan menjanjikan engkau surga. Bicaralah jujur (benar), tepati janjimu, penuhi kepercayaanmu, jaga kesucianmu, jangan melihat yang haram, dan hindarilah apa yang dilarang." (HR Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)

Makmum Masbuk Langsung Sujud Ataukah Menunggu Imam Berdiri ?

Mendapati Imam Sedang Sujud Apakah Makmum Masbuk Langsung Sujud Ataukah Menunggu Imam Berdiri ? 

Fiqh Banyak diantara kita selaku makmum masbuq, ketika mendapati imam sedang sujud, maka mereka tetap berdiam diri sampai imam berdiri lantas kemudian baru shalat bersama imam. 

 Apakah tata cara ini benar? Dan bagaimana tata cara yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memberi tahukan tata cara yang benar kepada ummat. Beliau bersabda:

 إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الصَّلَاةَ وَالإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ

“Jika salah seorang dari kalian mendatangi shalat jama’ah, dan imam sedang berada pada suatu gerakan shalat, maka hendaklah kalian melakukan apa yang sedang dilakukan imam” (HR. Tirmidzi dishahihkan oleh Al-Albani)

 Dari hadits diatas, sudah sangat jelas bahwa jika imam sedang ruku’ maka kitapun segera melakukan apa yang dilakukan oleh imam yakni ruku’. Dan jika kita mendapati imam sedang sujud maka kitapun segera melakukan apa yang dilakukan oleh imam yakni sujud. Dan tidak perlu menunggu sang imam berdiri. 

 Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

 إذا أتيتم الصلاة فعليكم بالسكينة، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا

 “Jika kamu mendatangi shalat jama’ah maka datangilah dengan tenang (tidak terburu-buru), maka apa yang kalian dapati dari gerakan imam maka shalatlah dan apa yang luput dari kalian berupa raka’at maka sempurnakanlah” (HR. Bukhari Muslim) 

Begitulah yang dipegang dan dilakukan oleh para ulama.

 Al-Kharsyi rahimahullah berkata dalam Syarh Mukhtashar Khalil:

 أن المسبوق إذا وجد الإمام ساجدا فإنه يكبر للسجود يريد بعد تكبيرة الإحرام ولا ينتظر الإمام حتى يرفع وكذلك يكبر فيما إذا وجده راكعا تكبيرتين إحداهما للإحرام والأخرى للركوع ولا ينتظره

 “Bahwasanya seorang makmum masbuq jika mendapati imam sedang sujud, maka hendaklah dia bertakbir untuk sujud setelah melakukan takbiratil ihram dan dia tidak perlu menunggu imam sampai berdiri. Dan begitu pula dia bertakbir dengan 2 takbir ketika mendapati imam sedang ruku’, takbir pertama adalah takbiratul ihram dan takbir keduai untuk takbir ruku’ dan dia tidak perlu menunggu” (Syarh Mukhtashar Khalil milik Al-Kharsyi 2/46) 

 Imam Nawawi rahimahullah berkata:

 قال أصحابنا : إذا أدركه ساجدا أو في التشهد كبر للإحرام قائما ويجب أن يكمل حروف تكبيرة الإحرام قائما كما سبق بيانه قريبا في باب صفة الصلاة . فإذا كبر للإحرام لزمه أن ينتقل إلى الركن الذي فيه الإمام

 “Para ulama madzhab kami berkata: Jika seseorang mendapati imam sedang sujud atau duduk tasyahhud, maka hendaklah dia melakukan takbiratul ihram dalam keadaan berdiri dan wajib baginya untuk menyempurnakan takbiratul ihram dalam keadaan berdiri sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya pada bab sifat shalat. Maka jika dia telah melakukan takbiratul ihram maka dia harus berpindah kepada rukun gerakan shalat yang mana imam sedang melakukannya” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab 4/190)

 Kesimpulan: Maka jika kita mendapati imam sedang sujud atau sedang melakukan gerakan rukun shalat yang lain, maka kita segera bertakbir dan melakukan apa yang sedang dilakukan oleh imam. Dan tidak perlu menunggu imam berdiri atau menunda-nunda lagi. 

 Allahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.

Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui 

Penyusun: Ummu Ziyad
Murajaah: Ust. Aris Munandar

Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.

 

Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.

1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).'” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.
Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.

Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati tercinta. Wallahu a’alam.
Maraji’:
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008